Olah Sampah Jadi Berkah, TPST Buduk Budi Daya Maggot untuk Mengurai Sampah

 21 Oktober 2019    Dibaca: 312 Pengunjung

Olah Sampah Jadi Berkah, TPST Buduk Budi Daya Maggot untuk Mengurai Sampah

Sampah memang menjadi masalah besar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kini desa dan beberapa wilayah di Bali, khususnya di Badung  gencar dalam memerangi sampah. Namun sayangnya, pengelolaan sampah hingga kini terlihat belum maksimal. Pasalnya saat sampah itu dikumpulkan, sebagian besar sampah itu dibuang begitu saja dan dibakar. 

Berbeda dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) desa Buduk, Kecamatan Mengwi Badung.Kini TPST tersebut memanfaatkan sampah untuk membudidayakan maggot.Maggot tersebut pun bisa dijual kembali sebagai bahan pakan ternak. Bahkan sisa sampah yang dimakan maggot bisa menjadi pupuk organik yang sangat luar biasa. Hal itu dikatakan  Adi Akhmad Amdillah, yang merupakan pengelolahan sampah sebagai pakan maggot di TPST Buduk Mengwi.

Pria yang merupakan anggota komuninas Black Soldier Fly (BSF) Indonesia itu mengatakan, budi daya maggot dengan memanfaatkan sampah merupakan kerja samanya dengan TPST Desa Buduk dengan Koloni BSF Indonesia. Menurutnya, budi daya maggot dengan memanfaatkan sampah baru dan pertama kali ada di Indonesia.

“Mungkin kalau sebagian besar TPST belum maksimal mengolah sampah. Bahkan jika sampah itu diolah, pasti ada juga sampah dibuang ke TPA. Tidak semua sampah itu diolah,” kata Adi Akhmad Amdillah saat ditemui Tribun Bali Senin (21/10/2019).

Pihaknya mengatakan, dengan membudidayakan maggot di TPST akan membuat sampah itu menjadi kebutuhan. Pasalnya, ada beberapa jenis sampah yang bisa dijadikan sebagai pakan maggot tersebut. Ia pun mengakui bahwa pengembangan atau budi daya maggot tidaklah susah. Sebab pakan maggot diperoleh dari sampah organik yang saat ini menjadi momok bagi lingkungan.

“Maggot itu butuh makan, kebetulan makanannya itu bersifat organik, baik itu limbah basah, limbah pasar, buah-buahan, sayur –sayuran,” katanya.

Kata dia, satu bidang budidaya dengan ukuran satu meter persegi maggot menghabiskan tujuh kilo sampah organik perhari. Jadi sampah organik tersebut menjadi kebutuhan di TPST Buduk.

“Bisanya kan dibuang (Sampah Organik basah) itu, seperti kulit pisang, mangga yang sudah busuk dan yang lain. Itu yang menyebabkan TPST akan menjadi bau, tapi di sini kita gunakan sebagai pakan maggot,” terangnya.

Siklus budidayanya, lanjut Adi, maggot berasal dari lalat BSF (Black soldier Fly). Jadi kata dia, telur lalat BSF  yang menjadi maggot. Lalat BSF diperoleh dari maggot yang sudah tua atau yang disebut Prepupa.

“Maggot tersebut lah, yang membutuhkan makan banyak sementara lalatnya tidak perlu makan, usianya pun sangat pendek yakni berkisar tujuh hari. Lalat betina akan mati setelah bertelur, sementara yang jantan akan mati setelah kawin,” jelasnya.

Nah, sebelum menjadi lalat, maggot inilah yang butuh makan. Maggot yang sudah berusia 15 hari sudah bisa panen , untuk pakan ternak. Burung, ayam, lele, ikan dan lainnya. Juga ada untuk dijadikan lalat agar siklus tetap berjalan.

“Untuk jadi maggot, tulus atau telor lalat akan menetas selama lima hari. Lima hari, yang kemudian dipindahkan ke bidang budi daya. Setelah sepuluh hari baru kemudian bisa dipanen. Selama sepuluh hari itu maggot membutuhkan banyak makanan,” ucapnya.

“Bisa dibayangkan, semasa hidupnya dia (maggot) menghabiskan sampah, setelah di 15 hari dia panen, jadi pakan ternak. Itulah bio konversi, mengubah yang tidak bernilai menjadi sesuatu yang bermanfaat,” tambahnya.

Pria yang tinggal di Kabupaten Tabanan itu juga mengatakan, tidak ada yang terbuang dari sisa budi daya maggot.Sampah sisa pakan maggot, lanjut Adi, tidak dibuang begitu saja melainkan dapat dijadikan pupuk yang bernama kasgot (bekas maggot).

“Sisanya bisa digunakan untuk pupuk. Jadi tidak ada yang terbuang alias total konversi,” ucapnya.

Salah seroang pengelola budidaya maggot, I Gede Sujiasa yang juga merupakan pengelola TPST Buduk mengatakan, budi daya maggot tidaklah susah. Selain itu, maggot atau ulat yang dikembangkan berbeda dengan ulat yang membuat gatal bila tersentuh kulit.

“Ulatnya tidak gatal,” katanya Sujiasa yang saat itu sibuk memiliha sampah untuk pakan maggot.

Pihaknya mengaku, budidaya maggot tersebut sangat diminati masyarakat. Bahkan ada beberapa masyarakat yang sudah ingin membeli maggot-maggot itu sebagai pakan ternaknya.

“Kita sementara masih membudidayakan maggot dulu belum ada proses penjualan. Begitu juga di TPST masih dilakukan pemasangan alat untuk mengolah sampah yang lainnya, seperti plastik, kertas daun dan yang lain,” ujarnya lagi. (sumber : bali.tribunnews.com)

TAGS :