Ada Sumur Bertuah Tempat Nunas Tamba di Pura Dalem Gede Kebon, Buduk

 03 Februari 2020    Dibaca: 687 Pengunjung

Ada Sumur Bertuah Tempat Nunas Tamba di Pura Dalem Gede Kebon, Buduk

Pura Dalem Gede Kebon di Desa Buduk, Mengwi, Badung, Bali, banyak menyimpan keunikan, mulai dari pemangku, sarana ritual, hingga air sumur yang bertuah.

Pura Dalem Gede Kebon dahulu konon milik Desa Buduk, namun kini diempon oleh warga Banjar Tengah dan Tampak Kerep. Demikian dijelaskan Panglingsir Pura Dalem Gede Kebon, I Made Murdin, 60, saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group)  di jaba pura akhir pekan kemarin.

“Kini pura kami ini disungsung 100 Kepala Keluarga (KK), namun yang membayar urunan wajib sebanyak 62 KK dan sisanya biasanya berdana punia,” tambahnya.

Pura Dalem Gede Kebon yang piodalannya jatuh setiap Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Wuku Tambir ini,  merupakan pura umum. Made Murdin didampingi pemangku Pura Dalem Gede Kebon, Jro Mangku I Made Radih, mengatakan, berdasarkan cerita tetua zaman dahulu bahwa pura pertama yang berdiri di Desa Buduk adalah Pura Dalem Gede Kebon.


Di Pura Dalem Gede Kebon ada  beberapa palinggih, yakni di Utamaning mandala ada Palinggih Ratu Gede, Gedong, Palinggih Ratu Biang, dan Balai tempat Tapakan berupa Rangda dan Barong. “Rangda untuk simbol Ratu Niang, Barong Macan untuk Ratu Gede, Rarung, dan juga Hanuman. Selain itu, pura juga memiliki rencang berupa kuda berwarna hijau,” terang Jro Mangku I Made Radih, 64, yang sudah menjadi pemangku selama 20 tahun ini.


Ditambahkannya, sebelum piodalan biasanya para pamedek melakukan Tabuh Rah. "Tabuh Rah wajib dilaksanakan. Dahulu pernah tidak dilakukan, lantas ada yang karauhan saat piodalan bahwa ada yang kurang, karena tidak melaksanakan Tabuh Rah. Kami pun kembali akhirnya mengadakannya,” terang Made Murdin. Selain Tabuh Rah, pamedek juga melakukan patirtan ke Pura Beji yang terletak setengah kilometer di timur pura.


Dikatakannya, Pura Dalem Gede Kebon memiliki tiga pemangku yang bertugas berbarengan saat piodalan.  “Kami tiga pemangku, muput di tiga palinggih yang berbeda. Kalau saya sendiri muput di Palingih Ratu Gede,” ujar Jro Mangku Made Radih. Mangku kedua, Jro  Mangku Made Narki dari Banjar Bernasi Desa Buduk, muput piodalan di Palinggih Ratu Biang yang paling utara di sebelah Balai Panyimpenan Tapakan. Selanjutnya Jro Mangku I Kadek Gamayasa dari Banjar Tampak Kerep, Desa Buduk, muput piodalan di Palingih Ratu Nyoman.
Jro Mangku Made Radih menambahkan,  Pura Dalem Gede Kebon bisa menjadi tempat rujukan untuk nunas tamba (pengobatan). “Media tamba yang digunakan di pura ini adalah air dari sumur,” ucapnya.


Ditambahkan Made Murdin,  banyak umat yang datang ke pura nunas tamba, bisa sembuh dari sakitnya. “ Mereka sembuh setelah disembur dengan air dari tamba yang ditunas (dimohonkan) dari pura,” bebernya.


Pamedek datang biasanya  nunas tamba untuk mengobati penyakit herpes dan gendongan. “Penyakit  tenggorokan yang dinamai  gendongan itu biasanya sembuh dengan air dari tamba yang disemburkan dari mulut oleh keluarga pamedek ke pamedek yang sakit. Bahkan tidak sampai tiga kali langsung sembuh,” terang Made Murdin.


Selain itu, lanjutnya,  penyakit kulit seperti melepuh juga bisa nunas tamba di Pura Dalem Gede Kebon. Made Murdin menceritakan  banyak  pangempon yang merantau melakukan sesangi (kaul) di pura. “Saya dahulu merantau jauh, saat sakit berdoa dan masesangi bila segera sembuh,  saya akan menghaturkan sesuatu saat  pulag merantau di Pura Dalem Gede Kebon. Benar saja beberapa hari kemudian saya sembuh, dan saat pulang saya  bayar sesangi itu, " akunya.


Cara nunas tamba di Pura Dalem Gede Kebon pun sangat sederhana. Pamedek cukup membawa canang saja. Memberitahukan kepada pemangku agar bisa membantu dalam persembahyangan, untuk selanjutnya  pemangku akan nunas tamba di sumur di pojok pura. Tamba  kemudian dibawa pulang pamedek untuk  diberikan yang sakit.


Bagaimana soal pantangan? Seperti pantangan untuk kawasan suci pada umumnya, tidak boleh orang yang sedang cuntaka karena kematian dan sedang haid, dan perempuan yang sedang hamil.


Dikatakannya, kalau yang menikah belum sah secara niskala, seperti mapamit di rumah orang tuanya, maka belum bisa sembahyang di Pura Dalem Gede Kebon.

"Sesudah sah menikah secara niskala dan pindah ke sini, maka untuk proses sembahyang melapor dulu ke pengurus pura. Kemudian ikut sembahyang dari patirtan saat ke Pura Beji,  kemudian ikut Mapintonan. Usai Mapintonan baru bisa sembahyang normal seperti pangempon pura pada umumnya,” terang Made Murdin.

Tak hanya prosesnya unik, sarana ritualnya pun unik, menggunakan nasi wong bentuk manusia, ular, dan kuda. "Nasi wong bentuk ular  warnanya poleng (hitam putih selang seling). Nasi wong bentuk  kuda menggunakan warna hijau, dan nasi wong bentuk orang warnanya putih dan pecutnya memakai warna emas alias kuning,” ungkapnya. (sumber : baliexpress.jawapos.com)

TAGS :