Pura Pasek Badak Jadi Cagar Budaya, Terutama Meru Tumpang Dua-nya

 21 September 2019    Dibaca: 497 Pengunjung

Pura Pasek Badak Jadi Cagar Budaya, Terutama Meru Tumpang Dua-nya

Desa Buduk, Mengwi, Badung, memiliki banyak kisah bersejarah, salah satunya adalah tentang Pasek Badak. Ada dua Pura Kawitan Pasek Badak yang berdiri di desa ini, satu di Banjar Sengguan dan satu lagi di Banjar Gunung. 

Pemangku Pura Kawitan Pasek Badak, Jro Mangku I Nyoman Rimpug mengatakan, keberadaan Pura Kawitan Pasek Badak di Banjar Gunung sudah ada sejak dahulu. Pria 75 tahun ini mengaku tidak mengetahui persis kapan berdirinya pura dengan arsitektur klasik tersebut.

“Sudah napetan (nerima) puranya berdiri, saya tidak tahu kapan berdirinya,” ujarnya kepada Bali Expres (Jawa Pos Group).

Hal senada juga diungkapkan Wayan Supertawan, 37. Anak  Kelian Pura ini tidak mengetahui persis sejarah pura yang terletak di seberang rumahnya itu. Namun, dia mengetahui  bahwa Pura Kawitan Pasek Badak  memiliki prasasti berupa lontar yang hingga kini masih disimpan dengan baik. “Karena prasasti tersebut, bangunan palinggih tempat menyimpannya ditetapkan jadi cagar budaya,” terangnya.


Menurut keterangan Supertawan yang diamini  Nyoman Suka Adnyana, 62,  seorang pensiunan arkeolog, bahwa sekitar 20 tahun lalu para pamaksan pura mengundang Balai Arkeologi Denpasar untuk meneliti keberadaan pura. Dari hasil penelitian didapati prasasti di Pura Kawitan Pasek Badak, terdapat tiga buah lembar lontar, dimana salah satu lontar berangka tahun 1479 Caka atau 1557 Masehi. Sehingga, sejak itu pura ditetapkan menjadi cagar budaya, khususnya pada Meru Tumpang Dua oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). “Nah sejak itu, jika ingin melakukan perbaikan harus melapor ke BPCB,” ucap Nyoman Suka Adnyana yang juga pangempon Pura Kawitan Pasek Badak.


Perbaikan pura dilakukan para pengempon dari tahun 2000-2006. Selama enam tahun , secara bertahap Pura Kawitan Pasek Badak mengalami restorasi. Selain itu, dibuat juga Pura Beji khusus untuk patirtan yang letaknya tidak terlalu jauh. “Kami bongkar palinggih, kemudian kembali dipasang. Karena pemaksan yang tersebar di berbagai daerah akhirnya kami memutuskan perbaikan pura secara bertahap, setelah rembug dengan pangempon,” ujar Wayan Supertawan yang menemani koran ini keliling pura.

 

Tahun 2007 setelah selesai pemugaran dan restorasi, pura yang  piodalannya setiap Hari Pagerwesi tersebut dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih. Pada saat itu, baru  dibuka kotak tembaga tempat penyimpanan lontar. Bahkan, saat itu juga dibuatkan tiga lempeng panca datu (lempengan logam dengan lima jenis logam) sebagai tempat menyalin isi lontar. “Waktu itu Cokorda dari Mengwi yang membukanya, kemudian dari Balai Arkeologi membaca isinya. Sayangnya, kami tidak membuat salinan dalam bahasa latin lontar yang menggunakan huruf Bali Madya (Bali Tengahan) itu,” terang Nyoman Suka Adnyana.


Dikatakannya, sejak 2007 hingga kini tidak pernah lagi lontar dilihat,  baik yang asli maupun salinannya. “Alasan tidak bisa dilihat karena kalau ingin membuka dan melihat lontar prasastinya harus pas piodalan bertemu dengan tilem.Dan,  sampai saat ini setiap piodalan belum pernah ketemu dengan tilem. Jadi, kami hanya mengikuti saja kata tetua kami dahulu,” ujar Nyoman Suka Adnyana.


Dia juga menjelaskan bahwa kotak penyimpanan prasasti selalu dibawa  ke Pura Beji saat patirtan. Setelah itu, ditempatkan kembali ke meru tumpang dua di pura. 
Ditanya soal kondisi  lontar kuno tersebut, Nyoman Suka Adnyana mengatakan ketika  terakhir kali saat dibuka kondisi lontarnya masih bagus, sehingga bisa dibaca kala itu. Perawatannya dilakukan saat kotak dibuka ketika piodalan bertemu tilem, dengan cara disiapakan tirta kemudian kapas direndam di tirta tersebut lalu diperas hingga kering. “Kapasnya jangan terlalu basah, kemudian dengan hati-hati kita usapkan ke lontar tersebut, tetapi tidak seperti mengelap, cuman sekadar bersihkan saja,” beber Nyoman Suka Adnyana sambil mencontohkan gerakannya.


Dijelaskannya, Pura Kawitan Pasek Badak menganut konsep dwi mandala, yakni utamaning mandala dan jaba.  Di utamaning mandala pura terdapat Palinggih Ratu Ngurah, Palinggih Ratu Gede Pasek di Meru Tumpang Tiga, Panyimpenan Bhatara Kawitan, Palinggih Pasimpangan Gunung Agung , Rong Telu, Taksu, Papelik Sari, Bale Pangiasan, Bale Gong, dan Bale Kulkul. Sedangkan di jaba terdapat Bale Pawaregan saja. “Pura ini diempon sekitar 100 Kepala Keluarga (KK), yakni  50 KK dari Buduk dan lainnya tersebar di berbagai kabupaten di Bali,” pungkas Wayan Supertawan. (sumber : baliexpress.jawapos.com)

TAGS :